Selasa, 19 April 2016

Selingkuh butuh alasan

Mengapa Selingkuh ?

Sales : Tulus

Affair dengan Erna akhirnya terdengar juga ke telinga Sari, istri Tulus. Dia berang bukan main. Dan pertengkaran pun muncul.
Suasana di rumah bagai bara , yang mudah menjelma api yang membakar dengan hembusan angin yang sepoi sekalipun.
Tulus juga enek melihat istrinya. Menyebalkan. Sudah nggak cantik, selalu bersungut- sungut saja tiap berpapasan. Pingin nginjak tuh muka. Tapi Tulus memendam saja kejengkelan itu.

Ingin sekali minggat dari rumah ini. Tapi bagaimana dengan anak- anak ? Yang membuatnya selalu kembali ke rumah hanyalah Ima dan Evan, anaknya. Tanpa mereka berdua, dia tak sudi kembali ke rumah.
Persoalan rumah tangga ini rupanya tak berhenti di situ. Sari melaporkan hal ini ke orang tua Tulus. (Ini yang menurut Tulus kurang ajar banget, dipikirnya aku nggak bisa menyelesaikan urusan rumah tanggaku sendiri).
Dan Tulus sekeluarga pun dipanggil pulang ke rumah ortu untuk disidang.
Mereka berempat : Ayahanda, Ibunda, Tulus dan Sari.
“Ingat anak, ingat keluarga Tulus. Apa yang kamu lakukan ini nggak baik !! Kurang apa sih kau. Istri ada, anak ada, rumah juga sudah terbeli. Kurang apa lagi ? Karena istrimu nggak cantik ? Kecantikan bukan segalanya. Banyak cowok nikah dengan cewek cantik, dan kenyataannya belum tentu bahagia. Yang penting itu sabar dan saling mengerti. Dan bla..bla..bla…….”
Nasehat yang masuk dari kuping kiri keluar kuping kanan.
Dan Tulus merasa inilah saatnya dunia tahu apa yang sebenarnya terjadi di rumah tangganya.
Di depan sidang inilah dikeluarkan segala unek- unek yang menjengkelkan baginya.
 “Orang  jajan di luar itu karena apa ?” tanyanya dengan sinis.
Orang tua dan istrinya saling pandang.
Tanpa menunggu jawaban , Tulus pun nyerocos sendiri.
Karena :
Karena di rumah nggak ada yang bisa dimakan
Ada makanan, tapi nggak sesuai selera
“Kamu !!! (Tulus menunjuk Sari) Memang sudah seberapa baik kau meladeni suami ? Lihat saja, pulang kerja selalu saja rumah berantakan. Makan malam nggak ada. Selalu aku yang beli diluar. Alasanmu sibuk inilah, sibuk itulah. Sudah dibersihkan tapi anak- anak bikin kotor lagi. Selalu begitu. Dan akhirnya aku yang bersih- bersih tiap pulang kerja. Kau sendiri, malah asyik tiduran sambil main HP. Kau pikir aku nggak capek setelah seharian kerja ? Dan itukah kelakuan istri yang baik ?”
Sari terdiam.
“Tiap Sabtu dan Minggu, saat aku di rumah…pernah nggak sih kamu bikin makanan apa kek yang special gitu buat nyenengin suami. Nggak pernah kan ? Malah suruh sana- suruh sini. Membereskan gorden lah, kompor lah. Tak lebih seperti babu aku ini. Kau malah seharian ngobrol dengan tetangga. Nggak jelas apa yang diomongin. Pulang tahu beres, rumah bersih. Dan untuk makan siang pun aku dan anakmu terpaksa harus beli di luar. He…begitu yang kamu maksud sudah meladeni keluarga dengan baik ?”
Orang tua Tulus diam.
“Pernah nggak sih, kamu itu bilang sayang atau ngobrol yang enak santai gitu. Nggak pernah khan? Kamu pikir seusiaku ini sudah tak pantas dapat kasih sayang. Selalu ketus. Kamu pikir aku ini babumu ?
“Pernah nggak sih kamu itu legowo melayani suami ?? Selama ini selalu enggan dan menjengkelkan. Hingga ingat, sudah 3 bulan ini aku ogah minta apapun darimu. Toh, kamu juga nggak bakalan memberi. Dan kamu malah senang karena nggak perlu melayani suami lagi.  Apakah itu yang kau anggap baik ?”
Dada Tulus naik turun menahan luapan emosi yang bikin sport jantung.
 “Kalau di rumah aku selalu tidak mendapatkan kebahagiaan, wajar nggak jika aku akhirnya mencari kebahagiaan itu di luar ? Bagaimana tidak jajan kalau yag di rumah selalu nggak ada makanan  dan kalaupun ada selalu tak sesuai harapan ?”
Jeda sejenak.
“Mengapa nggak diomongin. Kalian khan suami istri. Bahkan sudah 12 tahun. Harusnya hal- hal semacam ini bisa kalian komunikasikan” nasehat Ayah Tulus.
“Tanya saja ke dia (Tulus menunjuk ke Sari lagi). Su dah berapa kali akau mengingatkan. Sudah berapa kali aku mencoba untuk ngajak omong baik- baik. Apa jawabannya ?”
Kedua orang tua Tulus menatap Sari.
“Jawab saja. Nggak usah sok alim kamu itu !” bentak Tulus .
Sari hanya menunduk. Rupanya dia menangis.
“Hallaaaaah…preetttttt !!! Itulah jawabmu selalu. Dasar kurang ajar !!! ” Tulus mulai tak terkontrol.
Tangannya melayang ingin menampar istrinya , tapi segera saja dicekal oleh ayahnya.
Tulus diseret meninggalkan ruang sidang.
Sesaat kemudian suasana kembali tenang.  Di ruang sidang tinggal Ibunda Tulus dan Sari.
Sari masih sesenggukan.
Ibunda menatap Sari dengan pandangan kecewa.
“Betul yang dibilang Tulus itu ?”
Sari menggeleng.
“Dia bilang begitu karena nggak sayang lagi sama Sari Bu. Dia sudah kepincut sama si Erna, sehingga apapun yang saya lakukan menjadi salah di depannya “.
Ibunda menghela nafas panjang.
Masalah keluarga, perselingkuhan dan perceraian akan selamnya rumit.
Esoknya mereka berempat sepakat untuk beruding lagi.
Telah terdapat semacam kesepakatan bahwa Sari akan mengubah segala caranya dalam melayani Tulus sang suami. Tentunya harus lebih baik. Dan Tulus, sebagai suami harusya bisa mengarahkan dan mengkomunikasikan ganjalan yang ada ke istri. Jangan dipendam sendiri. Agar sama – sama bisa saling mengkoreksi.
Mereka berjabat tangan . Pakta perdamaian telah disepakati.
Tulus tersenyum kecut.
Dia sudah terlanjur nggak percaya.
Dan rasa sayangnya sudah hilang entah kemana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar